Wednesday, October 10, 2012

Marriage is a Decision


6 Oktober 2012.

Nggak tahu kenapa, kotbah2 di gereja Katholik itu sering banget buat saya tersentak. Jadi ceritanya setelah berminggu-minggu berhalangan ke gereja Katholik, hari ini saya ke gereja Katholik lagi. Temanya apa? Temanya pernikahan. Pertama denger saya uda males deh, wong ga ada hubungannya, saya juga belom nikah. Tapi ternyata, si Pastor ngeluarin kotbah yang agak-agak bikin saya terkejut n mikir.

Dia membuka kotbahnya dengan menyatakan fakta kalo banyak pernikahan yang berujung perceraian ato yang nggak cerai tapi nggak berjalan dengan baik, bahkan di kalangan gereja sendiri. Setelah itu, dia ngomong kalo di antara mereka *jemaat* ada yang uda dalam perceraian ato lagi ada masalah, ‘the church’ sangat mengeti betapa painfulnya itu, betapa sangat menyakitkannya itu, dan dia berharap bahwa ‘the church’ bisa menjadi tempat untuk mereka bisa mendapatkan kekuatan. Ntah kenapa saya demennnn banget kalo Pastor2 lagi ngmg ‘the church’, kaya semuanya itu satu keluarga, semuanya saling ngebantu, hihihi. Anw ini OOT. Intinya, that’s such a good way to start this kind of topic, isn’t it? Karna pastinya banyak banget orang yang cerai dan ya uda ga bisa diapa2in lagi, itu uda jadi luka dan fakta yang ngga bisa lagi diubah dengan si Pastor kotbah.

Nah lalu si Pastor ini *yang saya lupa namanya siapa, so sorry :(* bilang kalo hal pertama yang harus kita pikirkan kalo lagi ngmgin pernikahan itu adalah...
Is marriage really our calling from God? Apakah pernikahan itu adalah sesuatu yang uda diutus buat kita dari Tuhan?

Saya kaget. Lah? Emang bisa begitu? Emang ada orang yang diutus Tuhan buat nggak nikah (terlepas dari dia adalah seorang Pastor dan suster)? Ini pertama kali saya denger kayak gitu. Dia lalu lanjut berkotbah, mungkin aja kita itu emang ngga di designed buat nikah. Ada orang yang ngga bisa komit sama 1 pasangan, ada orang yang too selfish to live with someone else, ada orang juga yang dia comfort being himself and can’t stand living with someone else *ini kotbahnya pake bahasa Inggris jadi maap campur2*. ato ada yang emang bakal lebih menjadi berkat kalo emang ngga nikah. Ya pokoknya intinya emang ada orang yang emang terpanggil buat ngga nikah, jadi jangan mikir kalo nikah itu suatu keharusan, marriage is a decision!

Lalu eh lalu saya refleksi diri lagi. Selama ini saya pengen nikah ya karna saya pikir nikah itu such a normal thing, smua orang kebanyakan ya nikah, it’s just the way people do things on earth. Tapi setelah denger kotbah ini, saya mikir lagi. Kenapa saya bener2 pengen nikah? Takut galau sendirian ntar kalo uda tua? Gara-gara demen banget sama anak kecil jadi pengen banget nikah biar bisa punya anak? Takut dikatain ga laku? Atau apa? Tapi semoga setelah mikir2 ntar bukan jadi pengen nggak nikah ya, pengennya sih nikah. hahaha. Jujur cita-cita saya tuh salah satunya sama kaya papa, a simple one: having a happy family with God as the Leader.

Tapi anyway, ini kog jadi curhat. Pokoknya, such an interesting topic. Ntah kenapa saya demen banget kotbah-kotbah di gereja Katholik, hihihi.

Bahasa dan Kita


18 september 2012. seperti biasa, ini saya tulis di word dulu soalnya nggak ada internet :p

Tulisan ini tadinya buat mau iseng ikutan lomba menulis di kompasiana, tapi karna sibuk luar biasa sama tugas-tugas kuliah dan midtests, jadi nggak kekirim deh :(( jadi yaudah dipost di sini aja hihi. 

“Lu tahu nggak, sekarang si Donny (anak si Paman, bukan nama dia beneran) nggak bisa kalau disuruh terjemahin Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia.” Begitu ujar paman saya saat saya berkunjung ke rumahnya setelah 3 bulan saya tidak di Jakarta karena studi.

Sang Paman lanjut bercerita kalau anaknya yang masih kelas 3 SD ini lebih fasih bercakap-cakap dengan Bahasa Inggris daripada Bahasa Indonesia. Di keluarga paman, bahasa pertama yang mereka gunakan adalah Bahasa Inggris; dan perlu saya akui, Bahasa Inggris sepupu-sepupu saya yang masih di Sekolah Dasar ini jauh lebih lancar daripada Bahasa Inggris saya yang sudah kuliah di semester 4.

Berdasarkan pengamatan pribadi saya, sekarang kayaknya lagi zaman menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pertama yang diajarkan oleh orang tua ke anak-anaknya. Banyak sekali terlihat di mall-mall anak-anak kecil berumur 3-4 tahun sudah fasih berbahasa Inggris dengan orang tuanya. Bukan hanya di kalangan keluarga, di kalangan anak muda pun, semakin keren seseorang kalau semakin fasih Bahasa Inggrisnya, apalagi kalo aksennya sudah bisa menandingi aksen bule. Memang perlu diakui, fasih berbahasa Inggris akan sangat membantu di dunia sekolah juga di dunia kerja. Sekarang ini, kebanyakan perusahaan-perusahaan sudah merupakan perusahaan multinasional, yang tentu saja memerlukan Bahasa Inggris untuk beroperasi.

Tetapi, apa perlu kita diajarkan Bahasa Inggris sampai kita tidak fasih berbahasa Indonesia? Memang sangat baik halnya kalau kita bisa fasih berbagai macam bahasa, ntah itu Bahasa Inggris, Mandarin, Jepang, atau bahasa-bahasa lain yang saat ini banyak digunakan karena Negara yang berkaitan sedang sangat maju perekonomiannya sehingga demikian pula penggunaan bahasanya. Tetapi apakah baik melupakan bahasa ‘ibu’ kita sendiri, Bahasa Indonesia? Apakah hal yang baik pula bila kita bangga kita lebih fasih berbahasa lain daripada menggunakan Bahasa Indonesia? Tidakkah kita ingat salah satu kalimat yang tertera di Sumpah Pemuda berpuluh-puluh tahun lalu, ‘Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia?’ Saya yang dari TK bersekolah di sekolah nasional, saat kuliah banyak bertemu teman-teman yang bersekolah di sekolah international atau national plus. Sungguh saya terkejut mengetahui banyak sekali kosa kata Bahasa Indonesia yang mereka tidak tahu, bahkan kata-kata yang sangat sederhana.

Selain dari zamannya penggunaan bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya sebagai ‘pengganti’ bahasa Indonesia, sekarang ini Bahasa Indonesia juga sering diubah. Bahasa-bahasa sms yang muncul di kalangan orang Indonesia seperti mengubah seluruh bahasa Indonesia. Kata-kata yang disingkat-singkat penulisannya, kata-kata yang ditulis dengan angka dan pengkapitalisasian yang tidak benar, penggunaan tanda baca yang ngawur dan asal-asalan, semua membuat Bahasa Indonesia nggak jelas yang mana yang benar cara penggunaannya. Mungkin kalau kita tanya kepada anak-anak sekolah zaman sekarang, mereka sudah tidak tahu lagu yang benar itu ‘kok’, ‘kog’, atau ‘koq’. Atau mereka sudah tidak bisa lagi tahu bagaimana penulisan ‘di mana’ yang benar, karena keseringan menyingkat-nyingkat menjadi ‘dmn’.

Sebagai orang yang lahir seakan-akan seperti di ‘perlintasan’ antara generasi berbahasa Inggris dan generasi berbahasa sms, saya sekarang sangat bersyukur atas kesempatan mempelajari Bahasa Indonesia dengan baik dan benar setidaknya dari TK, SD, hingga SMP. Kebanggaan saya tidak kalah dibanding dengan kebanggaan orang-orang lain yang bangga mereka bisa lebih fasih berbahasa asing daripada bahasa Indonesia. Sebagai orang yang dilahirkan di Indonesia, saya bangga saya bisa fasih berbahasa Indonesia. Akan sangat indah bila semua warga Negara Indonesia mau bangga dengan bahasa persatuannya, Bahasa Indonesia dan lebih memakai Bahasa Indonesia sebagai bahasa utama dalam kehidupan sehari-hari, terutama pemuda-pemudi Indonesia yang nantinya akan menjadi pemimpin bangsa Indonesia. Boleh kita fasih berbahasa asing, tapi kita harus fasih berbahasa Indonesia!

Tidakkah kita berpendapat sama?